Penyuka Bintang

Rabu, 13 Februari 2013

Rinai Hujan

Magrib itu hujan deras mengguyur Cicalengka. Mei masih berada di tempat bimbel. Hujan mampu menghayutkan pada kenangan yang sudah hampir ia simpan.
Tubuhnya yang tak ingin  terkena air mengulurkan niat untuk  hujan-hujanan. Satu persatu orang meninggalkan  ruangannya itu. 

Hujan takkan reda, takkan. Mei memberanikan meski ia sakit. Entah ada angin apa, melulu hujan menghanyutkannya pada kenangan, pada satu nama. Meski Mei melupanya.

Entah, ada sihir apa dengan hujan. Mengapa ia mampu menghanyutkannya. Hatinya basah. 

Hingga sampai tibalah ia di depan rumah, Mei dengan baju yang kuyup membereskan semuanya. Ada suara yang jauh terdengar. Ini baru pertama kalinya Mama Mei menanyakan hal ini. Sungguh pikirannya dibuat ribut tentang hal ini.

"Apa kau akan tetap begini terus. Mengejar karir, Mei? Kapan kau bawa calonmu?"

Menatap langit-langit kamar. Tentang hujan. Tentang harap.  Masihkah Mei bisa mencintai seseorang seperti mencintainya? Masihkah bisa O.. bukan apa Mei masih bisa? Sedangkan rasa cintanya telah habis untuknya.
 Bagaimapun tidak Mei dengannya telah mengikat ke tali pernikahan. Tapi semuanya terputus oleh takdir.
Semenjak itu Mei membenci hujan sebab hujan kerap menyihirnya untuk kembali ke masa silam dimana cinta  seolah-olah hanya untuknya. 

Rancaekek, 14 Feb 2013
08.11

Tidak ada komentar: