Penyuka Bintang

Sabtu, 20 Desember 2014

Catatan Hijrah

Hijrah. Hijrah artinya pindah dari satu tempat A ke tempat lainnya. Ini adalah hari ke -2 sy hijrah dari rumah setelah berlempar kata dengan sengit antara sy dg Mama. Derai air mata sy menggenangi tempat itu. Kukatakan padanya bahwa aku bsk akan pindah dan ngontrak, dan jangan cari semisalnya aku pergi.

Esok harinya, sesuai janji sy coba cari kontrakan dan tanya2 perbulan ternyata bayarannya mahal sama hal d gaji aku mengajar di SD.

Dan sy pun menimbang semuanya, belum mesti membeli perlengkapan sprt kasur, piring, dllnya.

Akhirnya sy tinggal di rumah kosong yang sudah lama tdk ditempati oleh kakak ku.

Rasanya di rumah ini sepi. Biasanya selalu.berisik, entah itu suara bojes, dika sdg bermain musik, mama ngomel, atau lainnya.

Di rmh ini sepi sekali. :(

Jumat, 19 Desember 2014

Pernikahan

Apa yang sahabat dengar dengan kata pernikahan. Saya heran, melihat mereka yang bahagia pada awal pernikahan dan menangis pada akhir pernikahan.

Segambar itukah pernikahan? Dalam penelitaan masalah finansial mendapatkan urutan ke -2 perceraian setelah perselingkuhan.

Dan sy pun heran mengapa pernikahan dg gampangnya dinodai dg perselingkuhan. Padahal pernikahan itu adalah sakral dan ibadah.

Berapa banyak luka anak atas dampak perselisihan. Jika sebuah pernikahan adalah permainan. Lebih baik jangan menikah saja.

Belajar, yaa manusia dihidupkan u/ belajar, melewati proses, melewati ujian, belajar dari kesudahan yang salah.

Selamat Liburan Anak-anak

Saat bel berbunyi, seperti biasanya saya masuk kelas dan mengucapkan selamat karena pelajaran tlah usai.

Kemudian mereka bernyanyi,
Kt jadi bisa menulis dan membaca
Karena siapa?
Kita jadi tahu beraneka bidang ilmu
Dari siapa?

Kita jadi pintar dibimbing pak guru
Kita jadi pandai dibimbing bu guru
Guru bak pelita penerabg gelap gulita
Jasamu tiada tara

Lagu tersebut membuat sy terenyuh, sedih, juga semangat untuk mengajar yang lebih giat lagi.

Selamat liburan yaa anak-anakku. Jaga kesehatan yaa, manfaatkan waktu liburan ini.

Kamis, 07 Agustus 2014

Menikah atau tidak menikah adalah hak seseorang

Ada fasenya ketika seseorang mengalami ketakutan untuk menikah, dan itu merupakan kewajaran.

Saya dulu takut untuk menikah. Takut bilamana saya tidak bahagia, takut bilamana saya tidak bisa menjadi istri baik, takut bilamana saya tidak bisa menjadi Ibu yang baik bagi anak-anak saya kelak. 

Pernah saya menulis status tentang ketakukan saya menikah di facebook, mengundang banyak komentar pun di pesan. Sampai pacar saya yang sekarang menjadi tunangan sedikit kecewa namun selalu mengingatkan, meyakinkan  dan memberikan motivasi untuk saya . 

Tentunya, semua itu ada alasannya. Semua bermula ketika saya  melihat orang tua saya berselisih paham  (meski itu wajar sekali-kali dalam berumah tangga), melihat dari tetangga yang saling adu teriak di depan anak-anaknya sedang saya hanya mengintip di balik jendela saling pukul memukul, saling hina menghina padahal menikah itu semestinya harus  bahagia dan membahagiakan, dari televisi yang banyak sekali artis bercerai, berita-berita tentang kekerasan dalam berumah tangga  serta  dari sahabat-sahabat saya yang bercerai di usia muda dan pernikahannya tergolong muda, sangat.
Itu yang menyebabkan saya dulu agak cuek terhadap pria.

Suatu senja di Pare, saya kebetulan sedang berlibur sekaligus belajar di sana sekamar dengan sahabat yag sudah saya anggap sebagai Mba. Setahun yang lalu dia tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana fakulas psikologi di UI. Usianya sekitar 37tahunan. Kami mengobrol, dan saling curhat dia melihat saya seperti bayangannya di saat dia masih muda. Dia khawatir jikalau saya mengalami sepertinya yang berniat untuk tidak menikah sama sekali dan memilih lajang dalam usianya. Ketakutannya sama seperti saya alasannya takut tidak bisa menjadi Ibu yang baik, ia pun bercerita bahwa  kesepian semasa kecilnya tanpa kasih sayang yang menyebabkannya takut bilamana kebiasaan yang dilakukan orang tuanya diturunkan olehnya kelak. "Materi yang berlimpah tidak menjadikan seseorang bahagia", katanya.
Saya pun sempat bertanya padanya bagaimana jika nanti saat ia beranjak manula tanpa suami atau anak pasti lebih kesepian. "Oh, tidak saya punya cukup untuk menyewa suster serta merawat anak yatim supaya tidak kesepian". Tapi, tetap ia menyarankan saya untuk tidak mengikuti jejaknya.
"Kau tahu, ada dan tidak adanya seseorang dalam hidupmu kau mesti bahagia", katanya.

Kala itu, otak saya pun   dipenuhi dengan cerita gagalnya pernikahan dari teman-tema saya.

Ah,  jika pernikahan itu menyakitkan lebih baik tidak menikah sama sekali. Dan kita bisa mengabdi hidup kita untuk dunia sosial. Itulah pikuran saya 1 tahun yang lalu ketika saya  belum bertemu dengan Mas.

Hingga saya merenung,  dan mendalami agama bahwa menikah itu adalah ibadah.Ya, ibadah.

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Anas bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila seorang hamba menikah maka sungguh orang itu telah menyempurnakan setengah agama maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya.” (Hadits ini dishahihkan oleh Al Banni didalam Shahihut Targhib wat Tarhib)

 Dear.. sahabat, trauma atau ketakutan yang berlebihan harus segera diobati dengan cara sering curhat padaNya, berkumpul dengan teman-teman yang dapat memotivasi, membaca buku tentang indahnya pernikahan, parenting, dan belajar membuka hati sehingga kita menemukan belahan jiwa kita.

Untuk memilih pasangan hidup kita sebaiknya yang diutamakan adalah agama serta ahlaknya/karakternya, sebab suami yang soleh selalu menentramkan juga selalu ingin membahagiakan kita.

Ya, menikah itu harus memiliki visi dan misi yang sama serta saling membahagiakan. Jika tidak ada itu, yang ada pincang.

Meskipun menikah atau tidak menikah adalah hak seseorang. Sebaiknya kita menemukan jalan untuk mengeluarkan ketakutan itu sehingga kita nyaman untuk menikah  dan yang dapat mengeluarkan rasa takut itu  dari yang lainnya hanyalah  sebagai penunjang dan hanya dari  diri kita sendirilah yang dapat mengeluarkan ketakutan itu. Semoga kita dipertemukan dengan belahan jiwa yang saling membahagiakan sehingga tercipta kata "Kita".

Rancakek, 8 Agustus 2014