Penyuka Bintang

Kamis, 07 Agustus 2014

Menikah atau tidak menikah adalah hak seseorang

Ada fasenya ketika seseorang mengalami ketakutan untuk menikah, dan itu merupakan kewajaran.

Saya dulu takut untuk menikah. Takut bilamana saya tidak bahagia, takut bilamana saya tidak bisa menjadi istri baik, takut bilamana saya tidak bisa menjadi Ibu yang baik bagi anak-anak saya kelak. 

Pernah saya menulis status tentang ketakukan saya menikah di facebook, mengundang banyak komentar pun di pesan. Sampai pacar saya yang sekarang menjadi tunangan sedikit kecewa namun selalu mengingatkan, meyakinkan  dan memberikan motivasi untuk saya . 

Tentunya, semua itu ada alasannya. Semua bermula ketika saya  melihat orang tua saya berselisih paham  (meski itu wajar sekali-kali dalam berumah tangga), melihat dari tetangga yang saling adu teriak di depan anak-anaknya sedang saya hanya mengintip di balik jendela saling pukul memukul, saling hina menghina padahal menikah itu semestinya harus  bahagia dan membahagiakan, dari televisi yang banyak sekali artis bercerai, berita-berita tentang kekerasan dalam berumah tangga  serta  dari sahabat-sahabat saya yang bercerai di usia muda dan pernikahannya tergolong muda, sangat.
Itu yang menyebabkan saya dulu agak cuek terhadap pria.

Suatu senja di Pare, saya kebetulan sedang berlibur sekaligus belajar di sana sekamar dengan sahabat yag sudah saya anggap sebagai Mba. Setahun yang lalu dia tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana fakulas psikologi di UI. Usianya sekitar 37tahunan. Kami mengobrol, dan saling curhat dia melihat saya seperti bayangannya di saat dia masih muda. Dia khawatir jikalau saya mengalami sepertinya yang berniat untuk tidak menikah sama sekali dan memilih lajang dalam usianya. Ketakutannya sama seperti saya alasannya takut tidak bisa menjadi Ibu yang baik, ia pun bercerita bahwa  kesepian semasa kecilnya tanpa kasih sayang yang menyebabkannya takut bilamana kebiasaan yang dilakukan orang tuanya diturunkan olehnya kelak. "Materi yang berlimpah tidak menjadikan seseorang bahagia", katanya.
Saya pun sempat bertanya padanya bagaimana jika nanti saat ia beranjak manula tanpa suami atau anak pasti lebih kesepian. "Oh, tidak saya punya cukup untuk menyewa suster serta merawat anak yatim supaya tidak kesepian". Tapi, tetap ia menyarankan saya untuk tidak mengikuti jejaknya.
"Kau tahu, ada dan tidak adanya seseorang dalam hidupmu kau mesti bahagia", katanya.

Kala itu, otak saya pun   dipenuhi dengan cerita gagalnya pernikahan dari teman-tema saya.

Ah,  jika pernikahan itu menyakitkan lebih baik tidak menikah sama sekali. Dan kita bisa mengabdi hidup kita untuk dunia sosial. Itulah pikuran saya 1 tahun yang lalu ketika saya  belum bertemu dengan Mas.

Hingga saya merenung,  dan mendalami agama bahwa menikah itu adalah ibadah.Ya, ibadah.

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Anas bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila seorang hamba menikah maka sungguh orang itu telah menyempurnakan setengah agama maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya.” (Hadits ini dishahihkan oleh Al Banni didalam Shahihut Targhib wat Tarhib)

 Dear.. sahabat, trauma atau ketakutan yang berlebihan harus segera diobati dengan cara sering curhat padaNya, berkumpul dengan teman-teman yang dapat memotivasi, membaca buku tentang indahnya pernikahan, parenting, dan belajar membuka hati sehingga kita menemukan belahan jiwa kita.

Untuk memilih pasangan hidup kita sebaiknya yang diutamakan adalah agama serta ahlaknya/karakternya, sebab suami yang soleh selalu menentramkan juga selalu ingin membahagiakan kita.

Ya, menikah itu harus memiliki visi dan misi yang sama serta saling membahagiakan. Jika tidak ada itu, yang ada pincang.

Meskipun menikah atau tidak menikah adalah hak seseorang. Sebaiknya kita menemukan jalan untuk mengeluarkan ketakutan itu sehingga kita nyaman untuk menikah  dan yang dapat mengeluarkan rasa takut itu  dari yang lainnya hanyalah  sebagai penunjang dan hanya dari  diri kita sendirilah yang dapat mengeluarkan ketakutan itu. Semoga kita dipertemukan dengan belahan jiwa yang saling membahagiakan sehingga tercipta kata "Kita".

Rancakek, 8 Agustus 2014